QAHAR MUZAKAR
Berawal dari perbincangan dengan salah seorang petani padi di kawasan
Seulawah, Aceh Besar, Hidayat Nyakman bertekad untuk membawa program Peningkatan
Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) ke Aceh.
Dari informasi yang
didapatkan putra Manggeng, Aceh Selatan ini, petani padi di Aceh hanya mampu
mendapatkan tiga sampai empat ton per hektar dalam sekali panen, Padahal, jumlah
itu masih ditingkatkan hingga tiga kali lipat. Dengan kata lain, petani
mengalami kerugian hingga Rp36 juta pertahun.
Untuk tahun ini, program
GP3K ini sudah mulai dilaksanakan di Aceh, tepat di Kecamatan Blang Bintang,
Aceh Besar, seluas 11 hektar. Kamis, 21 Juni 2012, penerapan program GP3K
dilakukan yang ditandatai dengan penanaman bibit pertama oleh Dirut Petrokimia
Gresik bersama dinas dan instansi terkait di Aceh.
Apa dan bagaimana
program GP3K itu, berikut petikan wawancara The Atjeh Post dengan Hidayat
Nyakman pada Rabu malam, 20 Juni 2012, di sebuah warung makan di kawasan Ule
Lheu, Banda Aceh .
AP: Sekarang GP3K sudah ada di Aceh, bagaimana
ceritanya?
Sejak Pak Mustafa Abubakar jadi mentri BUMN, ada
program di kementrian BUMN itu yang namananya GP3K (Gerakan Peningkatan Produksi
Pangan Berbasis Korporasi). Jadi seluruh BUMN yang terkait dengan pangan,
seperti Bulog, dan pabrik-pabrik pupuk diminta untuk mempunyai program
peningkatan pangan.
Tahun lalu, Petrokimia kebagian sekitar 55 ribu
hektar untuk melakukan program peningkatan produksi pangan ini. Dalam program
ini, yang kita berikan ke petani adalah, bimbingan teknis, dan bimbingan
pemupukan. Kita kawal dari hama, kemudian kapan waktu pemupukan, dan jumlah
dosis yang tepat.
Dari proses itu, kami menjamin, kalau sebelumnya hasil
produksi di suatu daerah itu misalnya, tiga sampai empat ton, dengan program
ini, kami menggaransi hasil panennya itu bertambah satu ton. Asal petani itu
mengikuti petunjuk kita, kapan pupuknya, jumlah pupuknya, kalau ada hama kita
basmi, dan kita kawal.
55 ribu hektar itu di mana
saja?
Untuk tahun lalu, hanya di Jawa Timur dan Jawa
Tengah.
Untuk Aceh?
Baru tahun ini (di Blang
Bintang-red) untuk pertama sekali kita lakukan.
Jadi saya terinspirasi
begini. Sekitar dua bulan lalu saya pulang ke Aceh. Waktu itu saya sempat pergi
ke daerah Gunung Seulawah. Waktu itu saya mau memantau kios-kios jualan pupuk.
Di sebuah tempat, di sawah di pinggir jalan, saya lihat-lihat ada ibu-ibu lagi
panen padi, saya tanya,
“Berapa kali panen dalam setahun?”
“Dua kali,”
jawab ibu itu.
“Berapa produksi dalam satu hektar?”
“Paling tiga
ton.”
Ya, tiga ton. Padahal sawah ada, cukup airnya, tapi hanya dua kali
tanam, dan produksinya hanya tiga ton. Sebagai orang Aceh, saya terus terang
sedih. Daerah yang kita yang subur, lahannya luas, tapi hasilnya sedikit, hanya
tiga ton dalam satu hektar.
Bandingkan dengan di Pulau Jawa. Saya pernah
beberapakali ikut acara panen bersama presiden, mentri, itu panennya bisa
delapan hingga sembilan ton per hektar. Bayangkan perbedaannya dan kerugian bagi
petani di Aceh. Di Aceh petani hanya bisa panen tiga sampai empat ton per tahun,
sedangkan di sana (Pulau Jawa-red) delapan hingga sembilan ton.
Oke lah
kita bilang misalnya beda hasil produksi tiga ton, dengan harga gabah Rp4000 per
kilo, itu sudah Rp12 juta. Artinya petani kehilangan pendapatan Rp12 juta per
hektar dalam tiga bulan tanam. Jadi kalau dalam satu tahun tiga kali tanam,
artinya Rp36 juta hilang uangnya.
Dari pemikiran itu lah, sewaktu balik
ke Jakarta, saya bilang ke teman-teman di Petrokimia, ayo, kita harus ke
Aceh!
Kebetulan saya juga pernah bertemu dengan salah seorang Tim Penyuluh
Lapangan (TPL) di Seulimum, saya tawarkan program P3K ini, dan dia setuju, tapi
lokasi di Blangbintang. Nah, program yang di Blangbintang ini bisa dibilang
pilot project untuk Aceh, seluas 11 hektar.
Dalam benak saya, di Aceh
ini minimal dapat 5.000 ribu hektar. Karena program ini, dari Petrokimia tidak
perlu mengeluarkan duit, bagi petani juga tidak perlu mengeluarkan duit. Hanya
untuk bayar pupuk seperti biasa, dan kita jamin harganya harga
subsidi.
Dari 11 hektar itu, berapa target
panennya?
Minimal lima ton dalam satu hektar. Kalau kurang dari
lima ton, saya akan bayar kekurangan.
Yakin akan sampai lima
ton?
Insya Allah. Di Jawa kita sudah lakukan, hasilnya minimal
tujuh ton.
Apa bedanya program ini dengan yang sudah dilakukan
petani pada umumnya?
Kita akan membimbing petani. Misalnya,
sebelum tanam itu ada yang namanya penyiapan tanah, harus diberi pupuk organik
terlebih dahulu, karena tanah kita ini sudah kebanyak dikasi pupuk kimia. Pupuk
ini bisa membuat tanah lama-lama makin keras. Jangankan padi, cacing pun han
item udeep (Tidak mau hidup) karena tanahnya sudah mengeras.
Pupuk
organik, untuk satu hektar sebanyak 500 kilo. Dan pupuk organik ini pun
disubsidi oleh pemerintah, hanya Rp500 per kilo. Artinya hanya Rp250 ribu per
hektar untuk pupuk organik.
Kemudian nanti ada petugas kami yang akan
mengawal, misalnya bagaimana memilih benih, merawat selama sebelum panen, sampai
panen. Berapa jumlah pupuk selama masa sebelum panen, itu harus jelas. Karena
kalau kebanyakan pupuk juga tidak bagus.
11 hektar itu lahan
milik petani?
Ya. Petrokimian tidak memiliki lahan, tidak
menyewa lahan. Kita cuma mengajak petani, ayo gabung, kita tanam yang benar,
kita rawat yang benar. Petani bekerja seperti biasa, tidak kita minta untuk
bekerja lebih.
Ke depan juga akan dilakukan di daerah lain di
Aceh?
Saya kepingin, asal tersedia lahan, minimal 5000
hektar.
Program ini, pada akhirnya tujuan kita untuk ketahanan pangan. Selama
ini kita banyak impor. Kalau kita punya lahan pertanian 11 juta hektar, dan bisa
kita tingkatkan panen satu ton, tidak perlu lagi kita impor. Jadi tujuan
akhirnya ketahanan pangan nasional dan meningkatkan kesejahteraan
petani.[]