Secercah Harapan di Tengah Keterbatasan

30 Maret 2015 09:14 / http://print.kompas.com / 5521x dilihat
Matahari siang itu persis berada di atas kepala. Fabianus Dhanga (51) berlari-lari kecil di pematang sawah. Di hamparan tanaman padi berumur sekitar satu bulan, ia tersenyum semringah mengusir sengatan terik sang surya. Tiga tahun ini, ia melihat buncahan harapan dari pucuk-pucuk daun padi yang menghijau.
Fabianus hampir tak melepaskan sandal jepit, saat masuk ke salah satu petak di sawah seluas 1 hektar di Desa Modo, Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Sabtu (21/2). Ia tak sabar menghitung anakan padi.
Di satu rumpun, ia menghitung ada 46 anakan padi. Di rumpun yang lain ada 63 anakan. "Sudah 40 anakan saja, saya bangga luar biasa," kata Fabianus, yang mengajak Kompas menghitung anakan di petaknya. Hasilnya ada 53 anakan padi di rumpun yang lain di petak berbeda.
Dalam tiga tahun terakhir, sejumlah petani di daerah transmigrasi itu perlahan mereformasi cara bertani. Seperti dikatan Fabianus, petani tidak lagi menanam padi di sawah dengan prinsip banyak bibit, banyak rezeki. Ucapan itu merujuk pada kebiasaan menanam hingga enam bibit padi di satu rumpun.
"Ternyata, pertumbuhan anakan baru sangat sedikit, paling banyak 20 anakan. Ini sudah berlangsung lama dan tak ada yang menyadarkan," kata bapak empat anak tersebut.

Titik terang menuju harapan baru bermula dari pelatihan pertanian organik pada Februari 2013. Hampir semua petani di Desa Modo dan utusan desa sekitar mengikuti forum yang diinisiasi pastor setempat. Dalam pertemuan selama tiga hari itu, disampaikan cara menanam padi yang sehat.

"Kami diajarkan menanam satu atau dua bibit saja dengan jarak 30 sentimeter di antara bibit padi yang ditanam. Awalnya kami tidak percaya. Begitu dipraktikkan, dampaknya luar biasa," ujar Fabianus, yang juga Sekretaris Desa Modo.

Sistem tanam itu berdampak maksimal berkat sentuhan pemakaian pupuk organik. Seusai pelatihan, petani gencar menggunakan pupuk organik dengan bahan-bahan yang ada di sekitar, mulai dari daun gamal, bonggol pisang, hingga siput. Bahan itu dicampur air beras dan gula. Sari bahan-bahan itu difermentasi selama 21 hari.

Air fermentasi lalu disemprot ke tanaman. Untuk padi sawah, pupuk cair disemprot pertama kali saat padi berumur 10 hari.

Semua petani dibekali pengetahuan sama untuk memproduksi pupuk organik. Dalam perjalanan, tinggal Agapitus Tandi (49) yang teguh dan menjadi produsen pupuk dengan metode olahan lokal.

Fabianus menyebutkan, pemakaian pupuk organik membuat anakan padi beranak pinak. Dengan ruang yang besar, tidak heran anakan padi bisa bertambah mencapai 60 batang.

Sejak pemakaian pupuk organik, sawah 1 hektar Fabianus mampu menghasilkan 2,5 ton beras. Produksi itu stabil dalam dua tahun terakhir. "Padahal, sebelumnya syukur-syukur kalau bisa sampai 2 ton. Ini, kan, sawah tadah hujan yang cuma sekali tanam setahun. Airnya juga setengah mati," kata transmigran asal Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, itu.

Di tanaman lain, Philipus Mei (46) ketiban tuah dari pupuk organik Agapitus. Kebun jagung seluas 70 are mampu menghasilkan 4 ton. (VIDELIS JEMALI)

Berita Terbaru

12 Nov 2024
11 Nov 2024
Petrokimia Gresik Aktif Mendorong Lahirnya Pahlawan Pangan Melalui Beasiswa Tani Muda Indonesia dan Taruna Makmur
11 November 2024 14:03 / Komunikasi Korporat PG / 49x dilihat
09 Nov 2024
Peduli Korban Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Petrokimia Gresik Kirimkan Bantuan
09 November 2024 08:57 / Komunikasi Korporat PG / 23x dilihat
07 Nov 2024