Gratifikasi adalah akar dari korupsi dan pemberian hadiah bisa berakhir pada tindakan pidana. Hal ini disampaikan oleh Sugiarto, Group Head Program Pengendalian Gratifikasi dan Pelayanan Publik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Gratifikasi yang pada mulanya dianggap hal kecil dan biasa merupakan awal dari kerusakan integritas. Melalui pemberian ini akan muncul hutang budi dan selanjutnya berujung pada tindakan merugikan negara," ujar Sugiarto mengawali materi tentang gratifikasi dalam Forum Group Discussion (FGD) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang digelar Petrokimia Gresik (PG) secara virtual, Senin (25/1).
Oleh karenanya, penting bagi korporasi untuk mengatur mana hadiah yang diperbolehkan, dilarang atau harus dilaporkan. Menurut Sugiarto, gratifikasi merupakan hadiah secara umum yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara, sehingga ada gratifikasi yang diperbolehkan dan ada juga yang ilegal.
Gratifikasi ilegal atau dianggap suap apabila pemberian yang diterima berkaitan dengan jabatannya, dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas si penerima.
Sedangkan gratifikasi yang diperbolehkan adalah pemberian yang berkaitan dengan ranah adat istiadat, kebiasaan maupun norma masayarakat yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Pemberian ini dipandang sebagai wujud ekspresi keramah-tamahan.
Sugiarto menegaskan, jika ada pemberian yang berbau suap maka harus ditolak. Apabila tidak bisa menolak, laporkan ke Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di PG, atau saluran pelaporan KPK lainnya paling lambat 30 hari usai diterima. Maka si penerima akan terbebas dari jeratan hukum.
"Tembok Besar China sangatlah kokoh. Tapi dalam 100 tahun pertama, musuh telah tiga kali berhasil membobolnya. Bukan dengan cara merobohkannya, tapi memberikan suap kepada penjaganya. Inilah bahaya gratifikasi, tolak atau laporkan," tandas Sugiarto.
Sedangkan, Komisaris Utama (Komut) PG, T Nugroho Purwanto dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk komitmen Direksi menanamkan kejujuran dan pencegahan tindakan korupsi di perusahaan.
"Dalam lingkup pekerjaan kita bisa jadi tidak menyadari bahwa pemberian sebagai bentuk terimakasih adalah tindakan korupsi. Inilah pentingnya FGD untuk meningkatkan pemahaman tentang korupsi," ujar Komut.
Komut meyakini bahwa insan PG memiliki integritas yang tinggi. Semangat antikorupsi akan mendampingi setiap langkah insan di korporat, sehingga budaya korupsi tidak hanya menjadi wacana.
Sementara itu, Direktur Utama (Dirut) PG, Dwi Satriyo Annurogo menyampaikan bahwa tindak pidana korupsi itu bisa disebabkan oleh tiga faktor. Yaitu, adanya tekanan atau dorongan dari internal maupun eksternal, seperti tekanan akan kebutuhan keluarga. Berikutnya adalah kesempatan, dan sikap mewajarkan.
"Karena itu, sebaik apapun sistem tetap kita harus mendampinginya dengan pribadi yang amanah," tegas Dirut.
(*/Hartono)