Menoleh Kembali ke Makanan Lokal yang Tersingkir oleh Beras

09 November 2016 09:59 / http://health.kompas.com / 9997x viewed

KOMPAS.com - Bagi mereka yang bersekolah di SD sekitar tahun 1980-an pasti hapal dengan makanan pokok di beberapa daerah di Indonesia. Jagung adalah makanan pokok orang Madura. Sagu identik dengan rakyat Maluku dan Irian Jaya (sekarang Papua). Sayang, sejumlah makanan lokal itu pelan tapi pasti tersingkir oleh beras.

Nasi, yang diolah dari beras, memang lalu menjadi makanan pokok nasional penghasil karbohidrat. Saat berkunjung ke Papua beberapa tahun silam, sawah dengan tanaman padi menjadi pemandangan yang biasa.

Makan nasi sudah menjadi keharusan sehingga jika perut belum kemasukan nasi, kita sering bilang belum makan. Padahal sudah menyantap roti tawar plus buah. Atau mengisi pagi hari dengan singkong rebus atau singkong goreng plus secangkir teh manis.

Beruntung, masih ada beberapa daerah yang mempertahankan makanan lokal sebagai pengganti nasi. Kearifan lokal soal pangan ini ternyata mampu menepis krisis beras yang menerpa beberapa daerah. Jika pemerintah memberi perhatian lebih akan hal ini, gonjang-ganjing beras saat musim kacau begini tak lagi menjadi masalah.

Di Kampung Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat, masyarakat sudah terbiasa menyantap rasi alias beras singkong. Meski berembel-embel beras, tapi rasi sama sekali tak mengandung produk olahan dari tanaman padi itu. Bahan bakunya murni dari singkong yang tumbuh subur di Gunung Gajah Langu, Gunung Jambu, dan Gunung Puncak Salam yang mengelilingi Kampung Cireundeu.

Singkong diparut dan diperas untuk diambil patinya. Setelah disimpan semalam lalu dijemur di bawah sinar matahari. Setelah kering, ampas singkong digiling dan disaring sehingga menjadi tepung. Tepung yang masih berbentuk butiran kasar inilah yang disebut rasi. Lalu, di mana embel-embel berasnya?

Untuk menyantapnya, rasi diberi air dan dikukus selama sekitar 20 menit. Rasi pengganti nasi pun siap disantap dengan lauk seperti sayur dan ikan atau daging. Meski jadi anak singkong, namun tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat tidak jauh berbeda dengan daerah lain.

Lain Cireundeu, lain pula dengan Desa Sigedong-Tretep di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Di sini masyarakatnya mengganti beras dengan jagung. Kebalikan dengan mereka penyantap nasi, di Sigedong-Tretep orang belum bilang makan kalau belum kemasukan jagung.

Bahkan menurut mereka, nasi beras tak memberi mereka tenaga. Pukul 07.00 makan nasi beras, dua jam kemudian sudah merasa lapar. Berbeda dengan nasi jagung yang awet kenyangnya. Selain itu, nasi jagung juga tahan lama. Bisa bertahan sampai tiga hari.

Untuk mengolah nasi jagung, jagung yang habis dipetik dikeringkan dengan mengasapinya di atas tungku selama 2 - 3 bulan. Jangan bayangkan bahwa jagung ini diasapi terus menerus. Dapur penduduk desa biasanya menggunakan tungku berbahan bakar kayu. Nah, di atas tungku ini dipasang para-para tempat menaruh jagung. Asap yang keluar dari pembakaran kayu itulah yang digunakan untuk mengeringkan jagung.

Jadi, sambil memasak untuk kebutuhan sehari-hari, mereka sekaligus mengeringkan jagung. Bisa juga pengeringan dilakukan dengan menjemur di bawah terik matahari. Cuma, karena wilayah ini sering hujan karena terletak di pegunungan maka cara ini kurang praktis.

Jagung yang sudah kering lalu dikuliti dan bijinya dipipil. Lalu biji ini digiling atau ditumbuk untuk memisahkan kulit ari jagung dengan isinya. Biji jagung kemudian direndam selama tiga hari. Setelah itu baru digiling hingga halus dan lembut. Jadilah tepung jagung yang siap dikonsumsi. Penduduk lokal menyebutnya sekelan.

Untuk mengonsumsinya, sekelan diseduh dengan air hangat dan diaduk-aduk. Bisa juga dikukus. Agar awet, sekelan yang sudah dikukus ini dijemur selama 2 - 3 hari lalu disimpan. Nah, sekelan yang sudah menjalani proses seperti ini bisa tahan selama tiga tahun.

Karbohidrat

Masih banyak sumber karbohidrat yang bisa dijadikan sebagai pengganti nasi. Sagu sudah populer di Maluku dan Papua meski kehadirannya sedikit tergeser beras. Di Papua, sagu diolah menjadi papeda atau bubur sagu. Bubur ini disantap selagi panas bersama dengan kuah kuning yang terbuat dari ikan tongkol atau ikan mubara dengan bumu kunyit dan jeruk nipis.

Sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi, pangan alternatif tidak kalah dalam hal jumlah. Bahkan kandungan karbohidrat sagu lebih tinggi dibandingkan dengan beras (84,7 g per 100 g dibandingkan dengan 78,9 g per 100 g). masalahnya, kandungan zat gizi lainnya kalah telak. Protein misalnya, sagu hanya mengandung 0,7 g per 100 g sementara beras 6,8 g per 100 g.

Untuk mengatasi hal ini, mau tak mau harus melengkapinya dari lauk teman pangan alternatif tadi. Jika saat makan nasi beras ditemani lauk ikan satu potong, saat makan sagu ditambah menjadi dua atau tiga potong ikan.

Cara yang lebih ilmiah adalah dengan menambahkan zat gizi tertentu melalu metode biofortifikasi. Meski masih menyisakan polemik seputar transgenik, namun penelitian-penelitian yang dilakukan dalam hal pangan akan menghasilkan variasi makanan alternatif yang setara dengan beras.

Seperti yang dilakukan tim dari Universitas Freiberg di Jerman yang mencoba merekayasa agar singkong memiliki kandungan beta-karoten yang lebih banyak dibandingkan singkong alam.

Di luar itu, tentu masalah pembiasaan. Akan tetapi, bukankah kita sudah punya sejarah memakan pangan alternatif? (Intisari-online/Agus Surono/Lusia Kus Anna)

http://health.kompas.com/read/2016/11/05/180000123/menoleh.kembali.ke.makanan.lokal.yang.tersingkir.oleh.beras