Menegakkan Tulang Punggung Pangan

04 June 2012 14:32 / http://bisniskeuangan.kompas.com / 5408x viewed

Hermas Effendi Prabowo | Nasru Alam Aziz

JAKARTA, KOMPAS.com — Apa jadinya sekarang kalau pada saat booming minyak tahun 2000-an Pemerintah Indonesia memutuskan menutup industri pupuk BUMN dan memilih mengimpor urea?

Pilihan untuk impor saat itu relevan karena harga gas sebagai bahan baku urea melonjak akibat dikerek harga minyak mentah dunia. Kalau kebijakan mengimpor urea ketika itu dijalankan dan akhirnya industri pupuk BUMN terpaksa gulung tikar, saat itu petani memang akan mendapatkan harga pupuk lebih murah.

Anggaran subsidi pupuk juga bisa dihemat. Namun, buah pahit justru akan dialami saat ini. Petani Indonesia harus membeli pupuk dengan harga 500 dollar AS per ton, bahkan bisa 700 dollar AS. Itupun kalau ada barangnya.

Harga pupuk yang terlampau mahal tentu tidak akan sanggup dibeli petani, apalagi petani kecil, di tengah kondisi iklim yang acap kali tidak memberi kepastian panen.

Untuk menyiasati itu, petani bakal mengurangi penggunaan pupuk atau tidak mau menggunakan pupuk sama sekali. Kalau ini sampai terjadi, produksi pangan, seperti beras, jagung, dan kedelai, bakal turun drastis dan ketahanan pangan nasional berada di bibir jurang.

Pemerintah tentu bisa memberi subsidi. Namun, nilai subsidi sudah pasti akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kalau memproduksi pupuk sendiri. Jaminan ketersediaan pupuk juga jauh lebih baik.

Berkaca pengalaman di atas, industri pupuk ternyata sangat menentukan bagi kelangsungan produksi pangan nasional.

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Holding Company) Arifin Tasrif, yang merupakan induk lima perusahaan pupuk badan usaha milik negara (BUMN), menegaskan, industri pupuk merupakan tulang punggung produksi pangan. Supaya ketahanan pangan tetap kokoh berdiri, tulang punggung jangan sampai patah.

Bagaimana agar industri pupuk bisa terus berkembang dan semakin kokoh menopang produksi pangan nasional, berikut petikan wawancara Kompas dengan Arifin Tasrif, pekan lalu di Jakarta.

Kontribusi apa yang bisa diberikan industri pupuk dalam mendukung produksi dan ketahanan pangan nasional?

Penggunaan pupuk urea ataupun pupuk majemuk NPK sangat signifikan dalam peningkatan produksi pangan, seperti beras, jagung, dan kedelai. Juga produktivitas tanaman tebu dan komoditas perkebunan. Tanpa menggunakan pupuk sama sekali, maksimal produktivitas padi hanya bisa mencapai 3 ton gabah kering panen (GKP) per hektar. Apalagi sekarang ketika tingkat kesuburan lahan juga berkurang, produktivitas akan jauh lebih rendah.

Dengan produktivitas per hektar yang rendah, produksi beras juga berkurang. Sementara kebutuhan beras terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk. Konsumsi per kapita beras juga masih tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan, pilihannya impor.

Dengan mengimpor, berapa besar devisa negara yang akan berkurang. Perhitungannya sederhana. Harga beras di pasar dunia sekarang sekitar 500 dollar AS per ton. Untuk impor 1 juta ton, butuh devisa 500 juta dollar AS. Kalau produksi turun karena petani tidak menggunakan pupuk, berapa besar devisa yang terbuang. Dengan tetap menggunakan pupuk saja, impor beras tahun lalu mencapai 1,8 juta ton. Perhitungan kami, sejak 2003 hingga 2011, peningkatan nilai komersial komoditas pangan mencapai Rp 292,57 triliun, dengan total besar subsidi Rp 77,73 triliun.

Dengan pupuk, devisa bisa diselamatkan dan nilai tambah didapat. Tantangannya apa?

Amerika Serikat membangun pabrik pupuk berbasis sel gas, dengan harga bahan baku hanya 2,8 dollar AS per MMBTU. China berbasis batubara dengan teknologi gasifikasi. Swasta juga mulai giat berinvestasi di pupuk NPK. Bahkan, pangsa pasar swasta di pasar pupuk komersial sekarang jauh lebih besar dari industri pupuk BUMN.

Di sisi lain, industri pupuk BUMN belum bisa mendapatkan kepastian bahan baku gas dalam jangka panjang, misalnya sampai 25 tahun ke depan, karena harga gas di pasar ekspor lebih menarik. Harga bahan baku gas bagi industri pupuk juga mahal. Keinginan untuk membeli lahan konsesi batubara ataupun gas juga tidak mudah karena sudah dikapling-kapling.

Di tengah persoalan itu, kebutuhan pupuk nasional terus meningkat. Tahun 2011, alokasi pupuk urea untuk sektor pangan saja sebanyak 5,1 juta ton. Pengembangan pangan skala luas (food estate) membutuhkan lebih banyak pupuk. Pasar pupuk komersial untuk subsektor perkebunan juga besar dan terus meningkat.

Bagaimana komunikasi dengan pemerintah?

Komunikasi terus dilakukan, tetapi kenyataannya tidak mudah. Kita berharap ada alokasi khusus kepada industri pupuk untuk memberi jaminan berproduksi.

Dari lingkup korporasi, apa yang dilakukan?

Holding mulai melakukan substitusi penggunaan gas. Yang tadinya kebutuhan energi dipenuhi dari gas, sekarang mulai dialihkan ke batubara. Dengan begitu, kapasitas produksi bisa dimaksimalkan. Penghematannya signifikan. Perusahaan juga melakukan revitalisasi lima pabrik lama. Usia tertua mesin pupuk sejak 1974. Dengan mesin tua, konsumsi energi lebih boros. Kalau mesin tua, untuk menghasilkan 1 ton urea perlu gas sebanyak 34 MMBTU. Bandingkan dengan mesin baru yang hanya 24 MMBTU. Dengan harga yang tinggi tersebut, harga jual pupuk Indonesia kalah 60 dollar AS per ton.

Revitalisasi terus berjalan. Diharapkan pada 2014 seluruh pabrik yang direvitalisasi bisa mulai beroperasi sehingga menambah daya saing.

Bagaimana kinerja holding?

Dengan mengubah dari operation holding menjadi invesment holding, kita bisa melakukan penjualan bersama. Timing-nya bersamaan sehingga mendapat harga jual lebih baik. Produk urea juga dikembangkan dalam satu kemasan sehingga memudahkan mobilisiasi dan menekan biaya. Untuk mencegah subsidi ke nonsubsidi, pakai urea warna merah.

Kebocoran ada indikasi berkurang sehingga bisa optimalkan penjualan pupuk nonsubsidi. Pengadaan barang dilakukan bersama sehingga mendapat harga lebih murah. Hasilnya keuntungan holding meningkat. Perolehan laba bersih tahun 2011 sebesar Rp 4,34 triliun atau 125 persen dibandingkan dengan RKAP 2011. Dibanding realisasi laba bersih 2010 naik 106 persen.

Kembali ke pangan, dari aspek manajemen, apa upaya untuk memperkokoh backbone ketahanan pangan?

Kita melakukan sinergi, efisiensi, dan peningkatan daya saing. Budaya baru harus ditunjukkan. Jangan miyayi, itu high cost. Jangan pula menjalankan tugas yang seharusnya setengah hari dibuat SPJ dua hari. Semua pihak harus melakukan perubahan agar kompetitif.

Bagi karyawan, kalau mau ikut, ayo. Kalau enggak mau, silakan pindah tempat. Terkait budaya, motivasi yang kita kembangkan agar kompetitif. Kalau memang efisien, sistem reward juga kita harmonisasikan agar kebersamaan ada. Yang gajinya sudah tinggi mau lebih tinggi silakan pindah.

Pola-pola pendidikan kompetensi juga dijalankan supaya karyawan baru memiliki pendidikan dasar yang sama. Penjaringan pegawai tidak lagi atas rekomendasi, tetapi langsung ke lembaga pendidikan, minta sepuluh lulusan terbaik.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/03/16383023/Menegakkan.Tulang.Punggung.Pangan

Recent News

12 Nov 2024
11 Nov 2024
09 Nov 2024
Peduli Korban Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Petrokimia Gresik Kirimkan Bantuan
09 November 2024 08:57 / Corcom of PG / 23x viewed