Dunia Berebut Gas

14 September 2012 09:01 / PKG Public Relation / 10663x viewed

Oleh : Edri Gasyaf

Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan konsumsi gas Cina meningkat dua kali lipat dalam 5 tahun ke depan, menjadi 273 miliar meter kubik. Secara global, kebutuhan gas diperkirakan meningkat 17%. Peningkatan ini disebabkan oleh kebutuhan industri Cina dan Amerika Serikat yang kian membengkak. Cina akan muncul sebagai pengguna gas terbesar ketiga pada tahun 2013. Hal ini tertuang dalam "Medium-Term Gas Market Report 2012" yang dirilis IEA pada World Gas Conference di Kuala Lumpur, Malaysia, awal Juni lalu.

Walaupun saat ini tengah berkembang sumber energi alternatif seperti nuklir dan tenaga surya, namun gas dianggap lebih layak dan memungkinkan karena pasokannya banyak dan mudah digunakan secara cepat dan efisien. Cina ingin memangkas penggunaan batubara yang selama ini memasok kebutuhan energinya dari 70% menjadi 60%. Penggunaan gas juga untuk menekan angka kecelakaan kerja di berbagai tambang batubara di Cina yang masih sering terjadi.

Berdasarkan laporan tersebut dapat diartikan bahwa Cina akan semakin gencar memburu ladang gas baru. Cina akan menginvestasikan jutaan dollar untuk infrastruktur eksplorasi gas demi memenuhi kebutuhannya. Upaya Cina semakin menggeliat dalam satu dekade belakangan. Cina mulai membangun jalur pipa Myanmar-China pada Juni 2010 dan melakukan negosiasi dengan Rusia untuk pasokan gas selama satu dekade. Cina sudah memulai dan akan semakin banyak mengincar gas di Asia Tengah seperti Turkmenistan, Kazakhstan, dan Uzbekistan. Turkmenistan sendiri kini menjadi eksportir gas terbesar bagi Cina.

Berdasarkan data BP Migas, Cina termasuk satu dari lima konsumen terbesar gas alam cair (LNG) dari Indonesia setelah Jepang, Korea, dan Taiwan. Jepang, importir gas terbesar di dunia, diperkirakan akan meningkatkan konsumsi gas untuk memenuhi kebutuhan energinya yang saat ini sedang terkendala oleh rusaknya reaktor nuklir Fukushima akibat terjangan Tsunami awal 2011. Bukan tidak mungkin Cina dan Jepang akan meningkatkan konsumsi LNG dari Indonesia.

Statistical of World Energy (2011) dalam laporannya menyebut Indonesia masih memiliki cadangan gas terbukti (proven gas reserve) sekitar 3,18 triliun meter kubik. Cadangan gas ini diprediksi mampu bertahan hingga 40-an tahun mendatang dengan rata-rata produksi mencapai 82 miliar meter kubik per tahun. Sedangkan cadangan minyak bumi nyaris kerontang, tersisa kurang lebih 4,2 miliar barel. Jumlah ini ditaksir akan habis dalam delapan tahun.

Salah satu konsumen gas adalah industri pupuk yang saat ini berada dibawah bendera PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC). Perusahaan induk plat merah ini membawahi 5 produsen pupuk dengan total produksi pupuk sekitar 12 juta ton yang diperuntukkan demi kesuksesan program ketahanan pangan dimana Kementerian Pertanian menargetkan surplus 10 juta ton beras di tahun 2015.

Bagi industri pupuk, pasokan gas sangatlah vital. Dua dari tiga pabrik PT Pupuk Iskandar Muda terpaksa berhenti beroperasi karena terkendala pasokan gas. Kontrak gas PT Petrokimia Gresik, sebesar 65 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), sebagian akan habis pada 2013.

PT Petrokimia Gresik adalah pemasok hampir 50% pupuk subsidi nasional. Sementara PT Pupuk Kujang Cikampek telah mengamankan pasokan gas untuk Pabrik Kujang 1A dan 1B hingga tahun 2016. Sedangkan PT Pupuk Kalimantan Timur dan PT Pupuk Sriwidjaja Palembang telah mengamankan pasokan gas hingga 2022. Kebutuhan gas ini akan terus meningkat seiring dengan berbagai proyek pengembangan, sebut saja proyek Amoniak Urea milik PT Petrokimia Gresik, Pabrik II B milik PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, dan Pabrik V PT Pupuk Kaltim. Tanpa adanya jaminan pasokan gas, industri pupuk akan kesulitan dalam mencapai target produksinya. Efeknya, produktivitas tanaman kurang optimal dan negara akan kembali mengimpor bahan pangan.

Memang, pasokan gas untuk industri pupuk telah dijamin oleh pemerintah melalui Permen ESDM No.3 Tahun 2010. Dalam Permen tersebut, pemerintah menetapkan skala prioritas untuk konsumsi gas. Secara berurutan, gas hasil produksi dalam negeri diutamakan bagi (i) pengolahan minyak dan gas, (ii) industri pupuk, (iii) listrik PLN, dan (iv) industri lainnya. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengatur konsumsi gas nasional, yaitu dengan mengurangi ekspor gas alam cair (LNG) ke luar negeri, memprioritaskan kebutuhan domestik, serta menetapkan standarisasi harga gas Indonesia (Indonesia Gas Price) seperti layaknya harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price). Saat ini, pemenuhan kebutuhan gas untuk domestik hanya dialokasikan sebesar 25% dari hasil produksi dalam negeri. Selebihnya, sebesar 75%, adalah untuk ekspor.

Kalangan industri lainnya mendesak pemerintah untuk merevisi Permen ESDM No 3 Tahun 2010 tersebut. Mereka menginginkan perubahan prosentase alokasi kebutuhan dalam negeri serta perubahan skala prioritas dimana kebutuhan industri lainnya hanya mendapat skala prioritas terakhir atau keempat. Mereka menginginkan pasokan gas yang lebih banyak untuk memenuhi aktivitas industrinya. Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo mengakui pemerintah berencana akan melakukan moratorium atau penghentian ekspor gas. Sewaktu menghadiri The 4th IndoPIPE 2012 (International Indonesia Gas Infrastructure Conference and Exhibition), Evita mengatakan kini sudah ada perubahan paradigma mengenai industri minyak dan gas.

Adapun perubahan tersebut antara lain: Pertama, dahulu minyak dan gas merupakan sumber utama pendapatan negara (devisa). Namun sejak Mei 2010 tidak lagi demikian. Hasil produksi gas dalam negeri kini diutamakan untuk memenuhi keperluan domestik. Kedua, pemerintah mulai mengembangkan lapangan-lapangan gas yang berada di Indonesia Timur. Ketiga, dulu pemerintah lebih memilih sistem onshore, namun sekarang offshore. Perubahan paradigma ini diharapkan mampu menjawab keluhan pengguna gas nasional.

Gambaran singkat di atas menunjukkan adanya tren peningkatan kebutuhan gas, baik di level lokal maupun global. Sementara itu, angka ekspor LNG Indonesia masih sangat besar, belum lagi adanya desakan dari kalangan industri nasional untuk memenuhi kebutuhan mereka yang terus meningkat, dan lain sebagainya. Singkatnya, gas kini semakin menjadi primadona, diperebutkan oleh berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Sementara itu, industri pupuk hanya memiliki kontrak yang relatif berjangka pendek. Industri pupuk pun harus ikut bergelut untuk mencukupi kebutuhannya.

Masalah gas ini menjadi tantangan tersendiri bagi manajemen industri pupuk. Dibutuhkan langkah-langkah strategis agar industri pupuk dapat terus bertahan dan berkembang di tengah perebutan gas. Mulai dari upaya pencarian dan perpanjangan kontrak dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hingga diversifikasi sumber energi. Diperlukan suatu kerjasama yang harmonis dari setiap elemen pendukung, mulai dari pemerintah hingga karyawan. Hal lain yang tak kalah penting adalah penerapan efisiensi di segala lini, penciptaan nilai tambah, inovasi, hingga peningkatan kualitas SDM.

(Dari berbagai sumber)