KOMPAS.com - Judulnya barangkali cocok dengan situasi aktual pemudik, tapi bukan itu maksud sebenarnya. Justru menjelang libur berjamaah begini pertanyaan di kamar praktik yang muncul antara lain, ”Dok, lebaran gimana dong ngatur makannya?”.
Saya butuh merenung sejenak untuk bisa mencerna maksud terdalam dari si penanya. Rasa kecewa dan sesal pun kadang muncul. Ah, mengapa perayaan-perayaan yang mestinya spiritual lalu berubah wujud jadi kebablasan nafsu?
Yang ribet butuh perubahan sensasi bukankah si licik otak alias ‘mind set’ sementara kerja tubuh membutuhkan konsistensi, regularitas dan komitmen?
Jantung tidak libur berdenyut, mengapa makanan sehat baginya harus libur? Ginjal butuh cukup air untuk mempertahankan fungsi filtrasi yang normal, lalu mengapa minuman hari raya jadi tidak wajar?
Barangkali bagi sebagian besar populasi manusia, saya dianggap manusia yang membosankan. Bisa jadi saya juga jenis spesies yang tidak mengerti artinya ‘fun’. Tapi apa yang fun lagi jika akibat dari fun tersebut akhirnya sama sekali enggak fun?
Dalam kelas pasien baru, saya selalu menekankan makna ‘tujuan’. Tujuan makan misalnya, sangat sederhana – bahkan hewan pun ‘memahaminya’ – yaitu hanya untuk bertahan hidup. Lalu, untuk apa mengonsumsi hal-hal yang akhirnya bikin cepat mati? Semua orang setuju, makanan yang membuat hidup lebih lama tentunya yang sehat dan seimbang.
Tuhan sudah cukup membuatnya. Bahkan berlebih. Yang menarik belakangan ini, banyak orang tidak lagi setia pada tujuan – tapi agak melenceng sedikit: mereka makan demi kecanduan, apa yang lidahnya doyan. Apa yang dibutuhkan badan? Sama sekali tidak terpenuhi.
Setia pada tujuan = hasil maksimal
Setia pada tujuan, bukan berarti membuat seseorang nampak membosankan. Itu asumsi yang terlalu dini. Setia pada hal-hal kecil, pada tujuan makan, tujuan berhari raya, tujuan kondangan, justru membuat saya lebih fokus dan mendapatkan hasil maksimal.
Hari raya dipusatkan pada silahturahimnya, memohon maaf dengan tulus, bukan sambil mengincar hidangan di atas meja. Atau lebih parah lagi, mendahulukan sowan ke rumah yang dikenal royal salam tempel dan jamuan yang memanjakan lidah.
Kondangan pun tak beda-beda amat. Kekalapan di meja pesta seakan dicocokkan sesuai dengan jumlah rupiah di amplop yang terjun bebas saat mengisi buku tamu.
Liburan ke luar negri? Katanya sambil wisata kuliner, faktanya yang disosor justru bukan makanan asli sana (yang sehat) tapi asing di lidah, melainkan sederet pangan yang kebetulan cocok dengan selera lidah. Alhasil, pulang vakansi badan remuk redam, bahkan menggemuk tanpa ampun.
Kembali ke kisah kamar praktik, banyak pasien yang perlu diajak mengingat kembali apa saja yang telah dilakukannya untuk mendzolimi tubuh – ketimbang meladeni keluh kesah hari ini seakan-akan semua penyakit datangnya mendadak.
Saya bukan tipe orang yang percaya dengan hal-hal yang datang tiba-tiba tanpa permisi. Hal seperti itu justru merupakan peringatan bahwa ada tanda-tanda yang diabaikan. Atau dianggap seakan-akan ‘everything is okay’.
Faktanya, tidak ada yang oke-oke amat. Masalahnya, kita sudah terlalu biasa dengan pembiaran. Hingga semuanya mati rasa.
Ketidaksetiaan pada tujuan tindakan dan perilaku harian itulah yang membuat akhirnya perjalanan tidak selamat, jauh dari kata nyaman.
Yang tak kalah menarik, ketidaksetiaan pada tujuan belakangan ini dimanfaatkan oleh para pengambil untung dengan dampak kerusakan yang tak terperikan.
Mau tahu contohnya? Mulailah dari promosi diet ajaib yang menjanjikan badan langsing kilat. Padahal pekerjaan Tuhan, karya alam semesta, tidak ada yang ekspres. Semua proses terjadi dengan kecermatan, kehati-hatian dan indah pada saatnya.
Namun ada manusia yang hilang respek dengan kearifan itu atau lebih parah lagi: tidak pernah dididik untuk memahaminya.
Selepas menghajar tubuh sekian puluh tahun dengan pangan acakadul, kini tubuh yang sama dihajar dengan proses malnutrisi yang tidak disadari – karena si empunya tubuh tahu-tahu malah bangga dengan tubuh yang kurus dengan cepat.
Malnutrisi seakan tidak nampak, karena tubuh dijejali larutan suplemen yang menjadi berhala baru. Tunggulah setahun dua tahun ke depan.
Saat bubuk ajaib mentok di batas kerjanya, tubuh dengan ‘berat ideal tapi tidak sehat’ itu mulai menunjukkan fakta yang sebenarnya: mulai dari gangguan kesuburan hingga kerusakan internal yang kompleks: gangguan fungsi enzim, gangguan reparasi DNA, gangguan kelenturan pembuluh darah, hingga gangguan kekebalan tubuh – yang semua itu hanya bisa terjadi jika tubuh justru dipelihara dengan proses yang baik dan benar.
Di sisi lain, ketidaksetiaan pada tujuan bekerja – pun menemui nasib yang sama. Tidak banyak orang paham, bahwa bekerja dengan bangun pagi, melalui rutin yang sama, naik-turun menghadapi tantangan yang tak ringan, sebetulnya membuat seseorang menjadi tangguh di perjalanan, bukan soal hasil akhir: beroleh uang semata.
Bonusnya justru munculnya karakter yang menjadi contoh bagi anak-anaknya, bahkan kebanggaan banyak orang. Dan itu tidak terjadi dalam semalam.
Tapi ada yang ingin kerja hanya dalam semalam. Mulai dari kurir narkoba beromzet jutaan sekali jalan tanpa perlu bangun pagi tiap hari, hingga pelacur kecil yang cuma butuh kecentilan tanpa harus sekolah berlama-lama.
Kerja, hanya istilah batu loncatan. Tujuannya? Uang besar. Bukan hidup yang lebih baik. Selamat di perjalanan? Tidak. Cepat atau lambat, petaka besar akan datang. Minimal jadi buron atau tetap berbohong seumur hidup – setiap kali ditanya soal profesi, apalagi bicara kebahagiaan sejati.
Masih mau bilang setia pada tujuan itu membosankan? Buktinya nasi putih di piring setiap hari tidak kelihatan membosankan kok.