sahabatpetani.com – Menurut data dari Balai Penelitian Tanah, Balitbang Kementerian Pertanian tahun 2015, luas lahan marginal di Indonesia mencapai 157.246.565 hektar. Namun, potensi lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian baru 91.904.643 hektar, atau sekitar 58,4 % saja. Lahan yang masih ‘tidur’ itu tentu saja bukannya tidak bisa dimanfaatkan untuk budidaya pertanian. Lahan yang sering disebut dengan LSO (lahan sub optimal) tersebut, bisa ditanami komoditas tanaman pangan. Yang nantinya diharapkan mampu menunjang ketahanan pangan nasional. .
Tanah di lahan marginal memang memiliki mutu rendah, karena adanya beberapa faktor pembatas. Faktor pembatas tersebut seperti topografi yang miring, dominasi bahan induk, kandungan unsur hara dan bahan organik yang sedikit, kadar lengas yang rendah, pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Bahkan terdapat akumulasi unsur logam yang bersifat meracun bagi tanaman (Handayani dan Prawito, 2006; Widyati, 2008; Yuwono, 2009; Kanzler, 2015).
Lembaga yang menaruh perhatian lahan marginal di Indonesia, di antaranya adalah Food Agriculture Organization (FAO). Organisasi tersebut menawarkan kerjasama dalam program pengembangan lahan marginal, untuk menunjang Program Upaya Khusus (UPSUS). Sejak tahun 2017 FAO siap bersinergi dengan Kementerian Pertanian, untuk mengembangkan jagung di lahan marginal di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat NTB), dengan model Conservation Agriculture (Jawa Pos, 18/8/2017).
Menurut konsultan FAO, Joseph Viandrio, sinergi model Conservation Agriculture dengan Program UPSUS merupakan langkah yang tepat untuk mempercepat pencapaian swasembada jagung. “Program UPSUS khususnya di NTT berhasil meningkatkan pengembangan budidaya jagung. Hal ini terlihat dengan adanya penambahan luas lahan, dan peningkatan bantuan insentif ke petani. Bantuan insentif tersebut berupa benih, pupuk, dan alat mesin pertanian, serta perbaikan irigasi,” jelasnya.
Salah satu usaha untuk meningkatkan kesuburan di lahan marginal adalah melakukan pemupukan. Tentu saja pemupukan dengan memperhatikan keberimbangan antara pupuk anorganik dan organik. Sebab jika memberikan pupuk anorganik saja, hanya akan meningkatkan kesuburan kimia tanah semata. Sedangkan kesuburan fisik tanah akan tetap rendah dan bahkan kesuburan biologi tanah akan tertekan.
Dengan pemberian pupuk anorganik yang berlebihan, aktivitas mikroorganisme tanah yang membantu peningkatan kesuburan tanah akan terhenti (Food and Fertilizer Technology Center, 2003). Seperti diketahui bahwa lahan marginal adalah lahan yang rendah potensi dan produktivitasnya. Dari sisi kesuburan tanah, baik kesuburan kimia, fisik maupun biologi tanah, juga rendah. Di samping itu, tanah marginal juga mempunyai tersedianya air yang rendah. Tapi bukan berarti lahan marginal tidak bisa dikembangkan untuk budidaya pertanian, khususnya tanaman pangan.
Hal senada dikatakan oleh Nata Suharta, peneliti Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Menurutnya lahan marginal memiliki potensi untuk pengembangan pertanian. Baik untuk pengambangan tanaman pangan, perkebunan, maupun tanaman hutan. Pengembangan untuk pertanian, selain perlu memerhatikan sifat fisik dan kimia tanahnya, juga perlu mempertimbangkan kondisi reliefnya.
Wilayah dengan relief datar hingga berombak, kata Nata, dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan semusim. Sedangkan tanaman tahunan atau perkebunan dan hutan tanaman industri, dapat dikembangkan hingga relief berbukit. Nata menyarankan untuk melakukan pemupukan guna memperbaiki kandungan hara tanah, pengapuran untuk meningkatkan pH tanah dan menurunkan reaktivitas Al, serta tindakan konservasi tanah. “Dewasa ini, tanah marginal banyak dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, lada, dan hutan tanaman industri, dan hanya sebagian kecil untuk tanaman pangan,” paparnya. (Made Wirya)
http://sahabatpetani.com/2018/04/13/lahan-marginal-menyimpan-potensi-menunjang-ketahanan-pangan/