Gratifikasi dan Perkembangannya

26 April 2016 10:10 / Humas PG / 7836x dilihat

Salah satu catatan tertua mengenai terjadinya praktik pemberian gratifikasi di Indonesia ditemukan dalam catatan seorang Biksu Budha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke 7. Pada abad ke-7, pedagang dari Champa (saat ini Vietnam dan sebagian Kamboja) serta China datang dan berusaha membuka upaya perdagangan dengan Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan catatan tersebut, pada tahun 671M adalah masa di mana Kerajaan Sriwijaya yang menguasai bahasa Melayu Kuno dan Sansekerta sementara para pedagang Champa dan China hanya menguasai bahasa Cina dan Sansekerta berdasar kitab Budha, hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan komunikasi.

Pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya telah menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar namun belum berbentuk mata uang hanya berbentuk gumpalan ataupun butiran kecil, sebaliknya Champa dan China telah menggunakan emas, perak dan tembaga sebagai alat tukar dalam bentuk koin serta cetakan keong dengan berat tertentu yang dalam bahasa Melayu disebut “tael”. Dalam catatannya, I Tsing menjabarkan secara singkat bahwa para pedagang tersebut memberikan koin-koin perak kepada para prajurit penjaga pada saat akan bertemu dengan pihak Kerabat Kerajaan Sriwijaya yang menangani masalah perdagangan. Adapun pemberian tersebut diduga bertujuan untuk mempermudah komunikasi. Pemberian koin perak tersebut kemudian menjadi kebiasaan tersendiri di kalangan pedagang dari Champa dan China pada saat berhubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya untuk menjalin hubungan baik serta agar dikenal identitasnya oleh pihak Kerajaan Sriwijaya.

Seiring berjalannya waktu, diduga kebiasaan menerima gratifikasi membuat para pemegang kekuasaan meminta pemberian gratifikasi tanpa menyadari bahwa saat gratifikasi diberikan dibawah permintaan, hal tersebut telah berubah menjadi bentuk pemerasan. Hal ini dapat terlihat juga dari catatan I Tsing pada masa dimana sebagian kerajaan Champa berperang dengan Sriwijaya, para pedagang China memberitakan bahwa prajurit-prajurit kerajaan di wilayah Indonesia tanpa ragu-ragu meminta sejumlah barang pada saat para pedagang tersbut akan menemui kerabat kerajaan. Disebutkan, jika para pedagang menolak memberikan apa yang diminta, maka para prajurit tersebut akan melarang mereka memasuki wilayah pekarangan kerabat kerajaan tempat mereka mealkukan perdagangan. Disebutkan pula bahwa pedagang Arab yang memasuki wilayah Indonesia setelah sebelumnya mempelajari adat istiadat wilayah Indonesia dari pedagang lain seringkali memberikan uang tidak resmi agar mereka diizinkan bersandar di pelabuhan-pelabuhan Indonesia pada saat itu.

Catatan lain terkait perkembangan praktik terkini pemberian hadiah di Indonesia diungkapkan oleh Verhezen (2003), Harkristi (2006) dan Lukmantoro (2007). Verhezen dalam studinya mengungkapakan adanya perubahan mekanisme pemberian hadiah pada masyarakat jawa modern yang menggunakan hal tersebut sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi. Pemberian hadiah gratifikasi dalam hal ini berubah menjadi cenderung ke arah suap. Dalam konteks budaya Indonesia dimana terdapat praktik umum pemberian hadiah pada atasan dan adanya penekanan pada pentingnya hubungan yang sifatnya personal, budaya pemberian hadiah menurut Verhezen lebih mudah mengarah pada suap. Penulis lain, Harkristuti (2006) terkait pemberian hadiah mengungkapkan adanya perkembangan pemberian hadiah yang tidak ada kaitannya dengan hubungan atasan-bawahan, tapi sebagai tanda kasih dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah memberikan jasa atau member kesenangan pada sang pemberi hadiah. Demikian berkembangnya pemberian ini, yang kemudian dikembangkan menjadi “komisi” sehingga para pejabat pemegang otoritas banyak yang menganggap bahwa hal ini merupakan “hak mereka”. Lukamtoro (2007) disisi lain membahas mengenai praktik pengiriman parsel pada saat perayaan hari besar keagamaan atau di luar itu yang dikirimkan dengan maksud untuk memuluskan suatu proyek atau kepentingan politik tertentu sebagai bentuk praktik politik gratfikasi.

Catatan-catatan diatas paling tidak memberikan gambaran mengenai adanya kecenderungan transformasi pemberian hadiah yang diterima oleh Pejabat. Jika dilihat dari kebiasaan, tradisi saling memberi-menerima tumbuh subur dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini sebenarnya positif sebagai bentuk solidaritas, gotong royong dan sebagainya. Namun jika praktik diadopsi oleh system birokrasi, praktik positif tersebut berubah menjadi kendala di dalam upaya membangun tata kelola yang baik. Pemberian yang diberikan kepada Pejabat cenderung memiliki pamrih dan dalam jangka panjang dapat berpotensi mempengaruhi kinerja Pejabat, menciptakan ekonomi biaya tinggi dan dapat mempengaruhi kualitas dan keadilan layanan yang diberikan pada masyarakat. (Sri Widajati)

Ref : Buku Saku Memahami Gratifikasi – KPK RI